Sunday, September 11, 2011

Sosiologi Budaya Kerja

Manusia di bola bumi ini pada dasarnya sama semua, tak pandang apakah kulit putih, hitam, kuning, ataupun sawo matang, tak pandang pula apakah Timur, Barat, Utara, Selatan, tengah atau pinggir. Di mana-mana terdapat orang yang gemuk dan yang kurus, yang tekanan darah tinggi dan yang tidak, dsb., termasuk juga yang berbakat ini atau itu, demikianpun yang kodrat kecenderungan individunya gesit atau lamban, rajin atau malas.

Terlepas daripada semua itu masih terdapat budaya kerja, yang mana bisa khas sendiri di setiap negeri. Ekonomi perputaran modal berbeda dengan cara-cara ekonomi terdahulu, karena cara ini berakibat langsung terjadinya saingan sengit di satu pasaran bebas, di mana modal kapital yang kalah cepat putarnya akan tertelan atau tersingkir oleh yang lain. Cara produksi kapital tidak membutuhkan pecut seperti di Mesir Kuno kemarin, untuk memaksa lakon-lakonnya giat bekerja. Cara baru tersebut, terutama pada taraf mula perkembangannya, bisa membuat baik buruh maupun mandor serta para atasan agar perlu sendiri berajin serajin-rajinnya, cukup dengan paksaan gaib daripada hubungan ekonomi. Tidak seorangpun diharuskan rajin, kalau tidak keberatan berakhir sebagai gelandangan di serokan tepi jalan. Paksaan halus tapi keras ini sama saja, apakah itu di negeri Inggeris atau di Jepang, di Amerika atau di Pulau Jawa.

Jadi, agaknya, bukan asal Timur atau Baratlah yang melahirkan etika kerja rajin di negeri industri (omong-omong, "industri" arti asalnya tidak lain daripada "kerajinan"), melainkan watak ekonomi negeri itu sebagai negeri industri, baik yang di Barat maupun yang di Timur. Dalam bab ke-2 kita sudah sempat menyaksikan merambatnya budaya rajin ke lapisan luas penduduk yang menjadi buruh pabrik. Sekarang, marilah kita ikuti sumber mula cara ekonomi yang berdalihkan rajin kerja itu.

Pada abad ke-16, kapal-kapal Sepanyol yang membawa pulang harta emas dari Benua Baharu itu lazimnya tidak langsung menuju bandar pangkalan di mana harta kerukan masing-masing peserta kena pajak bea-cukai, melainkan mampir dulu ke Tanah-tanah Rendah yang sekarang menjadi Nederlan dan Flandria (Belgia Utara), tetapi waktu itu masih jajahan Sepanyol. Disini, harta kekayaan dari Benua Baharu itu dibayarkan untuk hasil tekstil yang luks. Makmurlah pusat-pusat kerajinan tangan tekstil Tanah-tanah Rendah, daya ekonominya akhirnya sedemikian ampuh, sampai mampu berontak dan memperjuangkan kemerdekaan negerinya dari kekuasaan Sepanyol.

Bersamaan waktu, ikatan niaga gabungan kota-kota dagang Jerman pesisiran yang terkenal dengan nama Hansa, yang kegiatannya menyebar luas mencakup Rusia di Timur, Skandinavia di Utara, dan negeri Inggeris di Barat, menjadi terlalu makmur benar. Maka kota-kota dagang pesisir berontak terhadap kaisar di Wina, dan berkobarlah Perang Tigapuluh Tahun (1618-1648).

Inggeris tidak jauh ketinggalan. Setelah berhasil menangkis serangan "Armada" Sepanyol, bebaslah kapal-kapal Inggeris menjelajahi laut sampai ke rantau Benua Baharu. Harta rampasan membantu memodali kerajinan tekstil dalam negeri. Terjadilah perang antara parlemen dengan raja, dimana tentara parlemen di bawah pimpinan Cromwell alhirnya menang (1646) dan menjatuhkan raja dari tahta.

Di Perancis, perkembangannya sedikit terhambat. Pertumbuhan daya ekonomi "wangsa ketiga" (kelas menengah) tidak ketiban rejeki pemodalan luar biasa seperti di negeri-negeri tetangga tersebut diatas. Perdagangan dengan India dan Timur Jauh liwat Timur Dekat dan Laut Tengah itu menyusut dengan terbukanya hubungan laut mengelilingi Tanjung Harapan. Maka kaum Huguenot yang termasuk wakil-wakil lapisan tersebut sampai ditindas dengan bengis oleh monarki. Tapi biar lambat, akhirnya cetus pula dengan Revolusi (1789-1793) yang paling terkenal dari segala revolusi di Eropa.

Ikhtisar singkat dan terlalu dipersenderhana ini tentu saja memberi gambaran yang terlalu mekanis, tetapi cukup untuk memperjelaskan gejala yang dimaksud disini, yang tentu saja semata bagaikan seutas benang dalam rumit pertalian perkembangan sejarah Eropa pada peralihan dari Zaman Pertengahan ke Zaman Baharu den kelanjutannya sampai ke ambang pintu Zaman Modern. Adapun dari penjelasan-penjelasan itu timbullah pertanyaan: Apa hubungannya antara kemakmuran yang didasari perniagaan dan hasil kerajinan tangan di satu pihak, dan pemberontakan anti-feodal di negeri-negeri itu di lain pihak? Dan penting lagi bagi tema diskusi ini: Apa hubungannya dengan pemunculan etika kerja rajin yang membudaya?

Pada semua negeri tersebut, kenaikan kemakmuran kelas menengah (borjuasi; Bahasa Belanda burger, Bahasa Perancis bourgeois, Bahasa Inggeris middle class) menimbulkan suatu krisis etik. Terjadi persaingan dua lapisan kaya, ningrat dan kelas menengah. Dalam kesusilaan kaum ningrat, makin tinggi kelahiran seseorang, makin boleh memamerkan kemewahan. Dalam kesusilaan kelas menengah, makin ahli kepandaian seseorang, dan makin rajin kerjanya, serta makin cermat berumahtangga, maka makin berhasillah usahanya, makin besarlah hartanya.

Etika kaum ningrat dasarnya beroyal-royalan, menghambur-hambur kekayan, memamerkan keleluasaan memeras petani hamba dan tenaga ahli kelas menengah yang menghasilkan dasar kemakmuran gusti-gusti ningratnya. Etika kelas menengah berdasakan ketekunan bekerja dan kecermatan berumahtangga. Kedua etika atau budaya kehidupan ini tercermin pula dalam dua etika morel, yaitu moral bangsawan ningrat yang serba membolehkan sampai-sampai menghampiri kecabulan di satu pihak ("abangan"), dan moral ketat puritanisme daripada kelas memengah, yang banyak membatas dan melarang di pihak lain ("putihan"). Demikianpun, keduanya itu mencermin sebagai dua budaya kesenian, yaitu kesenian gaya Barok dan Rokoko yang mewah dan boros pada pihak ningrat, dan kesenian yang cermat, tegas, dan teliti pencorakannya pada pihak kelas menengah.

Sangat penting lagi pencerminan dalam bidang agama. Agama Kristen dalam Zaman Pertengahan, akibat pengaruh kekuasaan feodalisme, makin terkikis watak semulanya sebagai agama kaum tertindas Zaman Romawi, dan makin dihinggapi ciri-ciri penampilan feodal dengan segala pemameran kemewahan, dan diningrat-ningratkannya kedudukan warga imamat Gereja yang bahkan secara resmi di sebut "pangeran-pangeran Gereja". Kenaikan kedudukan kelas menengah mengakibatkan gerakan reformasi Gereja yang akhirnya menghasilkan mazhab Protestan. Maka berjelmalah perjuangan kelas menengah melawan ningrat di negeri Belanda itu sebagai perang agama antara mazhab Protestan Belanda (Gereformeerde Kerk) melawan mazhab Ortodoks Romawi (Katolik) Sepanyol. Di Jermanpun, Perang Tigapuluh Tahun itu perang antara pesisiran yang Protestan dengan kekaisaran yang Katolik. Dari sinilah asalnya, sosiolog Jerman yang terkenal, Max Weber, menamakan etika kerja rajin dan hidup cermatnya kelas memengah atau borjuasi itu "etika Protestan". Gerakan Huguenot Perancis tersebut di atas itupun satu mazhab Protestan, dan juga mementingkan kerja rajin hidup cermat.

HAKEKAT DAN DASAR MENGIKATNYA HUKUM INTERNASIONAL

Hakekat Hukum Internasional

Masyarakat internasional yang diatur oleh hukum internasional adalah suatu tertib hukum koordinasi dari sejumlah negara-negara yang masing-masing merdeka dan berdaulat. Dalam hukum internasional, hubungan yang ada bersifat koordinasi (kerjasama), mengingat negara-negara di dunia sama derajatnya, bukan bersifat subordinasi layaknya hukum nasional.
Menurut ahli seperti John Austin, Spinoza, dan lainnya, hukum internasional bukanlah hukum, dengan alasan:

Hukum internasional tidak memiliki kekuasaan eksekutif yang kuat.
Hukum internasional bersifat koordinasi, tidak subordinasi.
Hukum internasional tidak memiliki lembaga legislatif, yudikatif, dan polisional.
Hukum internasional tidak bisa memaksakan kehendak masyarakat internasional.

Dengan alasan-alasan tersebut, menurut ahli seperti John Austin, hukum internasional bukanlah hukum, karena tidak memiliki sifat hukum. Meskipun begitu, fakta sejarah menunjukkan bahwa alasan-alasan tersebut kurang tepat, karena:
Tidak adanya suatu badan hukum bukan berarti hukum tersebut tidak ada, dan tidak selamanya hukum tertentu harus dijalankan oleh suatu badan. Tidak adanya badan hukum mungkin saja menunjukkan hukum internasional kurang efektif, namun bukan berarti tidak ada. Sebagai contoh, hukum adat di Indonesia, yang bisa berjalan tanpa adanya badan yang mengatur.
Lembaga legislatif di dunia internasional dijalankan oleh Mahkamah Internasional.
Kebiasaan internasional diterima sebagai hukum karena keyakinan.
Badan yudikatif di dunia internasional dijalankan oleh Mahkamah Internasional dan Mahkamah Arbitrase Permanen.

Teori-Teori Hukum Internasional
Dengan demikian, maka hukum internasional merupakan hukum karena memiliki sifat hukum. Ada beberapa teori yang menjadi hakikat dan dasar berlakunya hukum internasional, yaitu:
Teori hukum alam
Menurut teori hukum alam (natural law), hukum internasional adalah hukum yang diturunkan untuk hubungan bangsa-bangsa di dunia. Hal ini dikarenakan hukum internasional merupakan bagian dari hukum tertinggi, yaitu hukum alam. Tokoh-tokoh dari teori hukum ini antara lain Hugo Grotius (Hugo de Groot), Emmeric Vattel, dll.
Teori hukum alam telah memberikan sumbangan besar terhadap hukum internasional, yaitu memberikan dasar-dasar bagi pembentukan hukum yang ideal. Dalam hal ini, dengan menjelaskan bahwa konsep hidup bermasyarakat internasional merupakan keharusan yang diperintahkan oleh akal budi (rasio) manusia, teori hukum alam stelah meletakkan dasar rasionalitas bagi pentingnya hidup berdampingan secara tertib dan damai antarbangsa-bangsa di dunia ini walaupun mereka memiliki asal-usul keturunan, pandangan hidup, dan nilai-nilai yang berbeda-beda.
Namun, dibalik sumbangan besar itu, terdapat kelemahan yang cukup mengganggu, yaitu tentang apa sebenarnya “hukum alam” tersebut. Akibatnya, pengertian istilah tersebut menjadi kabur, tergantung dari siapa istilah itu dikemukakan.
Teori Kehendak negara
Dalam teori hukum positif, terdapat beberapa teori, yaitu teori kehendak negara, hukum kehendak bersama negara-negara, dan mazhab Wiena. Menurut teori hukum kehendak negara, kekuatan mengikat hukum internasional terletak pada kehendak negara itu sendiri untuk tunduk pada hukum internasional, karena negara adalah pemegang kedaulatan, maka negara adalah juga sumber dari segala hukum. Hukum internasional berasal dari kemauan negara dan berlaku karena disetujui oleh negara.
Dalam teori ini disebutkan bahwa hukum internasional tidak lebih tinggi derajatnya daripada hukum nasional yang mengatur hubungan luar suatu negara. Tokoh-tokoh yang mengemukakan teori ini antara lain adalah Zom, George Jellinek, dll.
Terdapat kelemahan dalam pengertian teori kehendak negara ini, yaitu bagaimana jika suatu negara secara sepihak tidak mau lagi terikat dengan hukum internasional, apakah berarti hukum internasional tersebut tidak memiliki kekuatan pengikat lagi? Selain itu, apakah negara-negara yang baru lahir sudah terikat dengan hukum internasional, tanpa peduli mereka setuju atau tidak terhadap hukum internasional tersebut?

Teori Kehendak Bersama Negara-Negara
Teori ini merupakan perbaikan dari teori kehendak negara, dimana jika dalam teori kehendak negara kekuatan mengikat hukum internasional adalah kehendak negara sendiri, maka dalam teori ini kekuatan mengikat hukum internasional berasal dari kehendak bersama negara-negara dalam hubungannya. Kehendak bersama negara-negara lebih tinggi derajatnya daripada kehendak negara.
Kehendak bersama negara-negara ini tidak bersifat tegas atau spesifik. Maksudnya, Menurut ahli hukum Triepel, dengan mengatakan bahwa kehendak bersama negara-negara untuk terikat pada hukum internasional itu tidak perlu dinyatakan secara tegas atau spesifik ia sesungguhnya bermaksud mengatakan bahwa negara-negara itu telah menyatakan persetujuannya untuk terikat secara implisit atau diam-diam (implied).
Walaupun teori ini merupakan perbaikan dari teori kehendak negara, teori ini tetap memiliki kelemahan. Salah satunya, teori ini tidak mampu memberikan penjelasan yang memuaskan terhadap pertanyaan: kalaupun negara-negara tidak dimungkinkan menarik persetujuan untuk terikat kepada hukum internasional secara sendiri-sendiri, bagaimana jika negara-negara tersebut secara bersama-sama menarik persetujuannya untuk terikat pada hukum internasional? Apakah dengan demikian berarti hukum internasional menjadi tidak ada lagi?
Mazhab Wina
Kelemahan teori-teori berdasarkan kehendak negara melahirkan sebuah teori baru, yang mendasarkan diri pada norma hukum yang telah ada terlebih dahulu. Tokoh terkenal dari teori ini adalah Hans Kelsen dengan mazhabnya yaitu Mazhab Wina.
Menurut Kelsen, ada dan mengikatnya kaidah hukum internasional didasarkan oleh ada dan mengikatnya kaidah hukum lain yang lebih tinggi. Ada dan mengikatnya kaidah hukum yang lebih tinggi itu didasarkan oleh ada dan mengikatnya kaidah hukum yang lebih tinggi lagi. Demikian seterusnya hingga sampai pada suatu puncak piramida kaidah-kaidah hukum yang dinamakan kaidah dasar (grundnorm) yang tidak lagi dapat dijelaskan secara hukum melainkan harus diterima adanya sebagai hipotesa asal (ursprungshypothese). Menurut Kelsen, kaidah dasar dari hukum internasional itu adalah prinsip atau asas pacta sunt servanda.
Kelemahan dari mazhab atau teori ini adalah bahwa memang sepintas tampak bahwa konstruksi pemikiran mazhab ini tampak logis dalam menerangkan dasar mengikatnya hukum internasional. Namun, mazhab ini tidak dapat menerangkan mengapa kaidah dasar (grundnorm) itu sendiri mengikat? Lagipula, dengan mengatakan bahwa kaidah dasar itu sebagai hipotesa, yang merupakan sesuatu yang belum pasti, maka berarti pada akhirnya dasar mengikatnya hukum internasional digantungkan pada sesuatu yang tidak pasti.

Mazhab Prancis.
Selain Mazhab Wina, ada suuatu mazhab yang mencoba menjelaskan dasar mengikatnya hukum internasional dengan konstruksi pemikiran yang sama sekali berbeda dengan teori hukum alam dan hukum positif adalah Mazhab Prancis, dengan tokohnya seperti Leon Duguit, Fauchile, dan Schelle.
Dasar pemikiran teori ini adalah apa yang disebut dengan fakta-fakta sosial, yaitu berupa faktor-faktor biologis, sosial, dan sejarah kehidupan manusia. Artinya, dasar mengikatnya hukum internasional itu dapat dikembalikan kepada sifat alami manusia sebagai mahluk sosial yang senantiasa memiliki hasrat untuk hidup bergabung dengan manusia lain dan kebutuhan akan solidaritas. Kebutuhan individu tersebut juga terdapat pada bangsa dan negara. Dengan kata lain, menurut mazhab ini kekuatan mengikat hukum internasional didasarkan pada fakta-fakta sosial (fait social) bahwa manusia butuh hidup bermasyarakat.